Tak hanya ulama yang memiliki peran dalam mengembangkan seni berceramah. Namun, sejumlah institusi pendidikan pun ikut berperan. Di antaranya, Madrasah Nizamiyah, yang ada di Baghdad, Irak. Madrasah ini berkembang pada abad ke-11.
Saat itu, banyak cendekiawan yang memiliki kemampuan berceramah dari wilayah di luar Irak bertandang ke Baghdad. Mereka tinggal di sana, baik dalam jangka waktu yang pendek atau panjang. Mereka diberi kehormatan untuk mengajarkan ilmunya di Madrasah Nizamiyah.
Kehormatan tersebut diberikan langsung oleh Nizham al-Muluk, yang merupakan pendiri madrasah tersebut. Keturunan Nizham juga melakukan langkah yang sama. Salah seorang yang berkecimpung di Madrasah Nizamiyah adalah Abu Husyn al-Abbadi, yang berasal dari Marw.
Al-Abbadi bahkan pernah menduduki jabatan akademis di Nizamiyah, yaitu sebagai guru besar dalam mata kuliah seni berceramah. Sebuah catatan mengungkapkan, pada November hingga Desember 1092, al-Abbadi berkunjung ke Baghdad.
Kemudian, al-Abbadi melanjutkan perjalananya menuju Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji. Pada tahun berikutnya, ia kembali lagi ke Baghdad dan diangkat menjadi pengajar tamu untuk mata kuliah seni berceramah. Hingga, ia pun menjadi guru besar di sana.
Di sana, al-Abbadi juga bertemu dengan ilmuwan besar al-Ghazali, yang menjadi kepala guru besar di Nizamiyah. Kemampuan al-Abbadi berceramah juga melahirkan rasa takjub dari seorang pengembara dari Spanyol, Ibnu Jubair.
Dalam karyanya yang berjudul Perjalanan, Ibnu Jubair, mengisahkan banyaknya orang yang berkerumun untuk mendengarkan ceramah al-Abbadi. Selain Nizamiyah, ada pula Tajiyah, di mana madrasah ini juga memiliki penceramah ternama, yaitu Abu al-Futuh al-Ghazali.
Selain mengajar di Tajiyah, al-Futuh juga mengajar bidang studi ceramah di ribath atau padepokan sufi di Bahruz. Dia juga pernah diundang untuk menyampaikan ceramah di istana Sultan Mahmud dari Bani Seljuk dan memperoleh honor sebanyak 1.000 dinar.
Dalam melakukan kegiatannya, ceramah al-Abbadi maupun al-Futuh, tak pernah melahirkan pertentangan. Terkadang, ada ceramah yang melahirkan pertentangan karena apa yang disampaikan mendapatkan bantahan dari mereka yang menolak isi ceramah atau kelompok yang berbeda aliran.
Putra pertama al-Abbadi, yaitu Abu Manshur al-Abbadi, pernah memicu pertentangan. Ini terjadi saat ia yang berasal dari kelompok Asyariyah, bersikeras melakukan ceramah di Masjid Al-Manshur, yang merupakan tempat berkumpulnya kaum tradisionalis.
Kirim kirim ke Facebook
Tidak ada komentar:
Posting Komentar